Seutas Tambang dan Bonus dari Semesta
Kembali

Seutas Tambang dan Bonus dari Semesta

Kisah tentang keberanian, rasa cukup, dan kebijakan yang belum menyentuh tanah.

Martya Litna
28 Oct 2025


Langkahnya pelan tapi mantap, meniti jalan tanah sambil memanggul pikulan bambu. Setiap tetes nira di dalam wadah adalah hasil dari keseharian yang dijalani dengan kesungguhan tanpa banyak bicara.

Ia berhenti di salah satu pohon aren tinggi. Di sana tergantung tali tambang yang sudah lusuh. “Ini nyawa saya,” katanya sambil menepuk tali itu. “Kalau putus, ya tinggal nunggu takdir.”

Bukan sekadar ungkapan. Ia pernah jatuh dari ketinggian lima meter karena tambang pengamannya dimakan bajing. Saat itu ia pulang dengan napas tersengal, rasa sakit di sekujur tubuhnya, namun beberapa hari kemudian, ia tetap memanjat lagi.

Di pagi yang tenang, tubuh lincah Jono bergerak di antara pepohonan. Dengan tali tambang di pinggang dan wadah bambu di pikulan, ia menapaki hari seperti biasa untuk mengambil rezeki dari ketinggian yang berisiko, tapi sudah jadi bagian hidupnya.

“Kalau sore nggak diambil niranya, paginya udah nggak mau keluar,” katanya, tersenyum lebar memperlihatkan gigi yang tak lagi lengkap. “Pohon aren ini kan kayak orang, kalau kita nggak konsisten, dia ngambek.”

Di rumah, Ibu Tumiyati, istrinya, sudah bersiap di dapur. Dapur kecil itu gelap dan penuh asap dari kayu bakar. Ia menuangkan air nira ke dalam wajan besar dari tembaga dan mengaduknya selama berjam-jam. “Yang paling repot itu api sama kayu,” ujarnya. “Kalau kayu habis, nyari ke kebun udah nggak ada, beli juga susah. Kadang udah pesan beberapa hari belum datang.”


Di dapur sederhana yang dipenuhi asap, ia menjaga nyala api agar tetap stabil. Pekerjaan yang tampak kecil ini menentukan keberhasilan berjam-jam kerja keras menjadikan air nira perlahan berubah menjadi gula.

Jono sendiri bukan orang asli Manggung. Ia berasal dari Salatiga. Dulu ia bekerja di perusahaan perkebunan karet dan beberapa kali singgah di Manggung mengunjungi kerabat. “Saya lihat di sini, yang sukses di sini bukan pegawai, tapi petani,” ujarnya. “Rumahnya permanen, anaknya sekolah sampai kuliah. Dari situ saya mikir, kenapa saya nggak ikut?”

Perjalanan ke Manggung itulah yang mempertemukannya dengan Tumiyati. Mereka menikah pada 1999 dan bersepakat untuk memulai hidup baru di dusun ini. Saat itu juga Jono mulai menanam karet di waktu luangnya sambil masih tetap bekerja. Tiga tahun kemudian, ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya, karena ingin sepenuhnya menekuni pekerjaan sebagai petani.

Tahun-tahun pertama berat. Namun, itu semua sudah bagian dari rencana Jono dan Tumiyati. Mereka tahu memulai hal baru pasti berat dan butuh saling menopang. Mereka hidup dari warung kecil milik Tumiyati dan hasil kebun seadanya. Di masa itu, Jono fokus menyiapkan lahannya. Kurang lebih sekitar satu tahun dan perlahan, pohon-pohon karet yang ditanamnya mulai menghasilkan. Ia mencatat semua hasilnya, harga per kilo, bahkan per blok kebun. “Saya punya catatan dari tahun 2003 sampai sekarang,” ujarnya sambil tertawa bangga. “Saya pengin tahu bulan apa harga naik, bulan apa turun.”

Dari catatan itu, ia belajar membaca ritme pasar dan cuaca. Tapi ia juga tahu batasnya. “Kalau karet ditahan terlalu lama, beratnya berkurang. Sebulan bisa susut 10 persen,” katanya. Pengalamannya bekerja sebagai karyawan perkebunan membuatnya bekerja sebagai petani yang lihai bukan hanya dalam hal mengurus tanamannya, tapi juga mengatur keuangan dan manajemen kebunnya


Tawa yang lahir dari perjalanan panjang dua orang yang saling menopang. Di balik lelah, mereka selalu menemukan alasan untuk bahagia dengan cara paling sederhana.

Empat tahun terakhir, ia mulai menanam kopi di sela-sela pohon karet dan cengkeh. “Kopi itu santai, panennya setahun sekali. Tapi kalau karet, tiap hari harus nyadap,” katanya. Di kebunnya, pohon aren tumbuh liar di antara tanaman-tanaman itu. “Nah, kalau Aren itu bonus dari Tuhan,” katanya pelan. “Kadang ada hasil, kadang enggak. Ya disyukuri aja.”

Proses panjang dari pohon hingga dapur ini berakhir dengan hasil sederhana: gula yang manis, lahir dari kerja sabar dua pasang tangan.

Meski sudah puluhan tahun bertani, tantangan Jono tetap sama: pupuk. “Dulu pakai kartu tani, ribetnya luar biasa. Sekarang pakai KTP, lebih gampang,” katanya. “Cuma kualitas pupuknya saya lihat semakin turun. NPK dulu 16-16-16, sekarang jadi 13-13-13. Harganya sama, tapi tanamannya jadi seperti orang kurang gizi.”

Ia menyesalkan sistem subsidi yang tidak jelas. “Harga di sosmed katanya Rp90 ribu per karung, tapi di toko bisa Rp150 ribu. Mana yang bener?” ujarnya. Ia akhirnya mencampur pupuk subsidi dan non-subsidi agar hasil tanamannya tetap baik. Ia merasa kebijakan seperti ini tidak terlalu menolong petani kecil. “Kalau mau bantu, jangan turunkan kandungan pupuknya,” katanya. “Subsidi aja pupuk yang bagus sekalian. Supaya kami juga hasilnya bisa maksimal,”


Ketenangan sore di bale-bale bambu menjadi jeda di antara kerja keras dan kesederhanaan. Jono dan istrinya berbagi tawa kecil, cerita lama, dan rasa syukur atas hari yang kembali terlewati.

Kini, di usia yang semakin senja, Jono tidak lagi mengejar hasil besar. Ia hanya ingin keluarga sehat dan damai. “Saya nggak ingin muluk-muluk,” ujarnya. “Cukup itu kalau kebutuhan tercukupi, bukan keinginan.”

Ketika ditanya harapan terakhirnya, ia menjawab lirih, “Saya ingin meninggal dengan husnul khotimah.”


Generasi baru yang menjadi alasan untuk terus bertahan. Bagi Jono, kebahagiaan terbesar bukan pada hasil panen, tapi pada kesempatan melihat cucunya tumbuh dan sejahtera di tanah yang ia rawat sendiri.

Ia diam sejenak, menatap pohon-pohon di kejauhan. “Dan semoga generasi saya selanjutnya lebih sejahtera dari saya.”

Di luar, matahari tenggelam di balik lereng. Nira menetes ke wadah bambu dengan irama sabar. Di antara bau tanah, asap dapur, dan tali tambang yang sudah mulai aus, Jono terus bekerja, karena di situlah letak kesyukuran paling murni yang ia kenal: hidup sederhana dengan tangan yang jujur.


Penutup Reflektif

Di balik suara tawa Jono dan asap dapur Tumiati, ada kenyataan yang sunyi: bahwa keberanian petani sering kali lebih besar dari perlindungan yang mereka terima. Mereka berdiri di antara tanah yang makin berat diolah dan kebijakan yang tak selalu mempermudah. Namun di sanalah makna keteguhan menemukan wujudnya.

Share ke Media Sosial:

Suara Lainnya

Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai

Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai

Cerita kearifan lokal yang kian menyusut di lahan Food Estate, Mantangai Hulu

Regina Virza 31 Oct 2025
Baca Selengkapnya
Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai

Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai

Kisah tentang keteguhan, laut yang kian sempit, dan kebijakan yang belum berpihak.

Martya Litna 29 Oct 2025
Baca Selengkapnya
Di Balik Tawa Nurlela

Di Balik Tawa Nurlela

Perjuangan Perempuan Petani di Antara Harapan dan Birokrasi

Martya Litna 28 Oct 2025
Baca Selengkapnya