Di Balik Tawa Nurlela
Kembali

Di Balik Tawa Nurlela

Perjuangan Perempuan Petani di Antara Harapan dan Birokrasi

Martya Litna
28 Oct 2025

Siang itu, matahari Aceh seperti marah. Angin memang berembus kencang, tapi panasnya menampar kulit. Di tengah terik itu, Nurlela berjalan pelan menarik tiga ekor kerbau kurus menuju ladangnya yang bersebelahan dengan rumah kayu kecilnya. Bajunya lusuh, lengan panjang tunik berwarna pudar, dengan kerudung yang diikat rapat. Peluh mengalir di wajahnya yang legam, tapi senyum tetap mengiringi langkahnya.

“Kalau gak saya tarik sendiri, siapa lagi?” katanya sambil tertawa. Suaranya lantang, tapi di akhir kalimat ada getar yang tak bisa disembunyikan.

Kerbau-kerbau itu bukan sekadar hewan ternak, tapi sahabat kerja yang setia. Nurlela merawat mereka seperti menjaga harta paling berharga, karena di ladang kecilnya, kekuatan dan kesabaran sering datang dari makhluk yang sama-sama bekerja dalam diam.

Di halaman rumah, terpal panjang menampung kacang koro yang dijemur. Persis di samping rumah itu berdiri balai kayu kecil tempat keluarganya biasa berkumpul. Rumah itu reot, papan dan atapnya tambal-sulam. Di dapur lembap, sebuah panci berisi air dan daun kelor menjadi lauk siang itu.

Sekitar tahun 2016, mereka pindah ke lahan peninggalan mertuanya seluas 300 meter persegi. Suaminya, yang dulu tukang bangunan, membangun rumah itu sendiri sebelum jatuh sakit. “Sejak dia sakit, gak kerja lagi bangunan. Ya akhirnya pendapatannya kurang. Saya lihat kan, kita membutuhkan banyak biaya buat anak-anak sekolah dan hidup sehari-hari,” ujarnya.

Bersama suami dan anak-anaknya, Nurlela tersenyum. Mereka tak punya banyak, tapi punya satu sama lain dan itu modal untuk bertahan.

Perjalanan Nurlela sebagai petani ditandai oleh keputusan yang dipaksakan oleh kondisi, alih-alih pilihan ideal, menjadikannya seorang pejuang yang gigih belajar dari kegagalan. Sebelum jadi petani, Nurlela bekerja sebagai penjahit sprei. “Dulu, duit bisa saya simpan. Sekarang, jangankan nabung, makan aja kadang mikir besok gimana,” katanya pelan. Kini ia menafkahi keluarga, mendampingi suami yang sakit, dan mengurus empat dari lima anaknya.

Meski sulit berdiri lama, ia tetap berusaha membantu. Di antara jemarinya yang lemah, ada keinginan untuk tetap berguna bagi keluarga.

“Daripada bingung, saya tanam kangkung aja,” ceritanya. Dengan modal Rp200.000, ia membeli bibit dua kilo dan menjual panennya sendiri. “Kalau diambil tengkulak, lima ikat kecil cuma seribu. Tapi kalau jual sendiri, satu ikat Rp3.000, dua Rp5.000,” katanya. Ia mengubah becak penumpang jadi becak dagang, berangkat pagi dan pulang siang. “Capek memang, tapi duitnya untuk sendiri.”

Bertani itu melelahkan. “Saya nyabut, ngikat, sampai jam dua malam,” katanya. Tapi dari hasil sayuran itu, keluarganya bisa makan. “Kalau bulan puasa, kalau habis semua, bisa delapan ratus ribu. Tapi kalau gak habis, ya tiga ratus ribu aja.” Setelah beberapa waktu, akhirnya ia berhenti menjual sayur dan mencari peluang lain.

Seorang pensiunan pertanian mengenal Nurlela dan menawarkan bibit bawang merah. “Pertama dikasih 25 kilo, hasilnya kami dapat 150 kilo. Setelah itu kami tanam 100 kilo, dapatnya 600 kilo,” ujarnya bangga. Namun, Nurlela harus melalui dua kali gagal karena tak tahu cara menanam. “Kami jemur (bibitnya) dan akhirnya rusak, kami kan gak tahu. Gak dikasih tahu juga caranya,” katanya sambil tertawa getir.

Bawang-bawang itu bukan sekadar hasil kerja, tapi bibit bagi musim tanam berikutnya. Cara sederhana untuk memastikan harapan tak berhenti di satu musim.

Kini Nurlela menanam kacang koro, tanaman yang tak banyak diminati tetangganya. “Orang bilang, buat apa tanam koro, gak ada gunanya,” ujarnya sambil terkekeh. “Tapi saya tahu, koro bisa buat tempe. Saya pernah lihat sendiri.”

Panen pertamanya 51 kilo, menghasilkan Rp590.000. “Uang itu langsung habis,” katanya jujur. “Bayar utang di warung, beli pupuk, sama jajan anak sekolah.” Baginya, hasil kecil tetap berarti: tanda bahwa tanah masih mau bersahabat. Ia ingin mengolah koro menjadi tempe atau keripik, tapi alatnya tak ada. “Kalau punya peralatan, uangnya kan untuk sendiri, gak bagi ke orang,” katanya. Hanya lagi-lagi kendalanya adalah modal.

Setiap biji koro yang dikumpulkannya menyimpan secercah harapan bahwa masih ada peluang untuk memperbaiki hidup, sedikit demi sedikit, dengan tangannya sendiri.

Namun yang paling menyakitkan bagi Nurlela bukan kelelahan, melainkan ketidakadilan. Namanya pernah masuk daftar penerima bantuan pupuk dan alat semprot, tapi saat bantuan turun, namanya hilang. “Tiba-tiba yang dapat orang lain yang bahkan tidak bertani,” ujarnya sambil menggeleng.

“Kalau saya minta bantuan, mungkin saya orang kecil, kan. Jawabannya selalu besok, besok lusa, sampai akhirnya gak dapat,” katanya. Ia bercerita bagaimana bantuan sering hanya sampai ke “orang kaya” di desa. “Begitu orang kaya minta, hari ini datang orang pertanian, besok udah ada bantuannya. Tapi kita yang minta, bulan depan pun gak ada.”

Nurlela juga sudah beberapa kali meminta dibuatkan Kartu Tani agar bisa membeli pupuk bersubsidi, tapi tak pernah jadi. “Minta Kartu Tani sampai sekarang gak pernah dibuat,” ujarnya. Kini pun, meski pemerintah mengganti sistem ke KTP sebagai pengganti Kartu Tani, masalahnya belum selesai.

Sejak 2023, pemerintah menghentikan program Kartu Tani dan menggantinya dengan verifikasi berbasis KTP. Namun, petani tetap harus terdaftar dalam sistem e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang mensyaratkan mereka bergabung dalam kelompok tani.

Di sinilah masalahnya bagi petani seperti Nurlela.

“Saya gak masuk kelompok tani, karena saya orang pendatang, bukan asli di sini,” katanya. “Diutamakan orang sini.” Selain itu, kelompok tani di desanya hanya untuk petani padi, sementara ia menanam bawang, semangka, dan koro. Struktur seperti ini membuatnya sulit mengakses pupuk subsidi. “Kalau gak ada pupuk, buahnya kecil-kecil,” ujarnya. “Hasil ada, tapi gak maksimal.”

Tak ada jaminan panen, tapi tanah ini tetap ia garap. Karena baginya, kerja adalah cara paling nyata untuk berharap.

Penyederhanaan sistem KTP diharapkan mengurangi birokrasi, tapi bagi petani seperti Nurlela justru menambah beban. “Saya sudah minta KTP tani juga diurus, tapi gak bisa,” katanya. “Saya orang kecil, siapa yang dengar.”

Lebih dari sekali Nurlela jadi korban ketidakjujuran. Ia pernah ditipu saat mengurus bantuan rumah. “Mereka minta uang dua juta katanya buat urus rumah bantuan, tapi rumahnya gak pernah ada,” ujarnya. Sejak itu, ia tak percaya lagi bantuan lewat perantara. “Kalau mau bantu, datang aja langsung, lihat sendiri rumah saya.”

Bagi banyak orang, rumah ini tanda kekurangan. Bagi Nurlela, itu bukti bahwa sejauh apa pun hidup menekan, ia tetap menemukan ruang untuk bertahan.

Ketika pemerintah gencar berbicara soal hilirisasi pertanian dan ketahanan pangan nasional, Nurlela masih berjuang di lahan kecilnya, mencari cara agar keluarganya bisa bertahan hidup.

“Walaupun kadang gak ada pun untuk bisa saya curhat ke orang, kadang tertawa juga,” katanya. “Kalau saya pergi ke warung minta utang, dikasih, ya Alhamdulillah. Kalau gak dikasih, ya udah, tertawa saja.”

Daun kelor direbus perlahan. Makanan sederhana untuk keluarga hari itu. Di ruang sempit ini, Nurlela belajar bahwa ketulusan bisa membuat apa pun terasa cukup.

Namun di balik tawa itu, ada kesedihan yang tak pernah pergi. “Yang membahagiakan sih... belum ada yang bisa disebut bahagia,” katanya lirih. Sepuluh tahun terakhir, belum ada momen yang benar-benar membuatnya merasa lega.

Harapannya sederhana: agar anak-anaknya bisa hidup lebih baik. “Saya cuma mau anak-anak sekolah tinggi, supaya gak susah kayak saya,” ucapnya. Anak perempuan satu-satunya, katanya dengan bangga, “ranking satu dari kelas satu sampai sekarang kelas tiga SMP.”

Tak ada kata-kata besar di antara mereka, hanya saling pengertian: mereka bertahan bukan karena mudah, tapi karena saling percaya. Ia tahu betapa keras hidup mereka, tapi juga tahu istrinya tak pernah berhenti berjuang.

Sebelum matahari turun, Nurlela menghidupkan traktor kecilnya yang dibeli dari hasil menabung sedikit demi sedikit. Suara mesinnya berat, tapi tangannya sigap memegang kendali. Di tanah yang gembur, kacang koro menjalar di antara batang semangka. Ia berhenti sejenak, memandang hasil kerja tangannya sendiri.

“Kalau saya gak kerja, gak ada nasi,” katanya sambil tertawa. “Tapi kalau saya kerja, paling gak, anak-anak bisa makan.”

Lalu ia melanjutkan dengan nada yang lebih dalam, “Saya mau pejabat datang langsung, lihat kami makan apa, rasakan panasnya ladang kami. Jangan cuma baca laporan di atas meja.”


Di balik senyumnya, ada keteguhan seorang perempuan yang tahu arti perjuangan. Ia tak menunggu belas kasihan, hanya kesempatan untuk terus berdaya.

—-

Penutup Reflektif

Di balik tawa Nurlela, tersimpan wajah banyak petani kecil di Indonesia. Mereka yang tak tercatat dalam sistem, tak terdengar dalam rapat, tapi menanam harapan di tanah yang sama setiap hari. Dalam kesunyian ladang dan rumitnya birokrasi, mereka tetap memilih bertahan, karena bagi mereka, menyerah berarti tidak makan.

Share ke Media Sosial:

Suara Lainnya

Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai

Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai

Cerita kearifan lokal yang kian menyusut di lahan Food Estate, Mantangai Hulu

Regina Virza 31 Oct 2025
Baca Selengkapnya
Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai

Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai

Kisah tentang keteguhan, laut yang kian sempit, dan kebijakan yang belum berpihak.

Martya Litna 29 Oct 2025
Baca Selengkapnya
Seutas Tambang dan Bonus dari Semesta

Seutas Tambang dan Bonus dari Semesta

Kisah tentang keberanian, rasa cukup, dan kebijakan yang belum menyentuh tanah.

Martya Litna 28 Oct 2025
Baca Selengkapnya