Kembali
Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai
Kisah tentang keteguhan, laut yang kian sempit, dan kebijakan yang belum berpihak.
Dani Rujito berjalan di dermaga tempat kapalnya tertambat di Desa Nelayan Tambakrejo, Semarang. Kaos menempel di punggungnya yang basah karena keringat, sandal jepitnya menapak di jalan setapak bambu yang pecah di beberapa bagian akibat termakan waktu.
Setiap langkah Dani menuju dermaga adalah perjalanan yang akrab dengan risiko. Namun bagi nelayan kecil, laut tetap satu-satunya tempat menggantungkan harapan.
Badannya tegap, lengan kekar karena puluhan tahun mengangkat hasil laut. Matanya menyipit menantang silau matahari, namun sorotnya hangat. Dia baru pulang dari memeriksa tonggak-tonggak bambu miliknya yang menancap di tengah laut, rumpon, tempat kerang hijau tumbuh dan harapan keluarganya.
“Dulu awalnya saya cuma bantu nelayan nguras perahu,” katanya sambil menatap ke air. “Upahnya kecil, tapi cukup buat makan.” Ia putus sekolah di kelas enam SD karena biaya tak cukup. Dari hobi memancing bersama ayahnya, Dani tumbuh jadi nelayan. Namun laut yang dulu memberi kehidupan kini sering jadi sumber kekhawatiran.
Saat alat tangkap modern mulai digunakan di perairan Semarang, jaring-jaring milik Dani sering hilang atau rusak. “Kadang malam ditebar, paginya sudah hilang,” ujarnya. Ia melihat laut semakin ramai, tapi hasilnya justru menipis. Sebagian nelayan beralih memakai alat tangkap yang lebih cepat namun merusak laut. “Kadang sampai ribut sesama nelayan,” katanya lirih. “Padahal laut ini tempat kita sama-sama hidup.”
Inilah bayangan ancaman yang selalu menghantui. Ketika laut dieksploitasi dengan cara cepat, ruang hidup nelayan kecil menyempit.
Di tengah keresahan itu, Dani menemukan ide sederhana. Ia menancapkan bambu-bambu di laut, berharap alat tangkap perusak enggan mendekat. “Kalau ada tonggak, mereka pasti menghindar,” ujarnya. Tanpa disangka, di batang-batang bambu itu tumbuh kerang hijau. Dari situ, Dani melihat peluang baru. “Awalnya buat jaga laut, malah jadi sumber rezeki.”
Kini, kerang hijau menjadi tumpuan hidupnya. Dari lima rumpon yang ia kelola, Dani bisa memanen puluhan kilogram kerang setiap musim. Harga kerang yang dulu hanya dua ribu rupiah per kilo kini naik dua kali lipat.
Namun laut tak selalu bersahabat. Setiap Desember, ombak tinggi datang, menghancurkan rumpon yang belum sempat dipanen. “Kalau belum habis, hilang semua, bahkan bambunya juga,” katanya. Dani harus berpacu dengan waktu dan gelombang. Ia tahu, laut bisa memberi, tapi juga bisa mengambil kapan saja.
Kerang hijau dari rumpon menjadi sumber penghasilan utama bagi Dani dan kelompoknya. Keputusan ini lahir dari kebutuhan melindungi laut sekaligus mencari nafkah.
Tantangan lain datang dari darat. Proyek-proyek besar seperti jalan tol laut dan reklamasi menekan ruang hidup para nelayan kecil di pesisir Semarang. Wilayah tangkap makin sempit, air dangkal kehilangan ikannya. Untuk melaut ke tengah, dibutuhkan kapal dan mesin besar — modal yang tak terjangkau. “Harga kapal baru bisa sampai dua puluh juta, mesin sepuluh juta. Berat,” ujar Dani.
Dukungan dari pemerintah setempat ada, namun belum menjawab kebutuhan nelayan di lapangan. “Bantuan itu nggak bisa diandalkan,” katanya jujur. “Seperti kemarin kita dapat bantuan jaring satu kilo untuk satu kelompok, anggotanya ada tiga belas orang. Gimana cara baginya?” Ia tertawa kecil lagi, kali ini getir.
Karena itu, Dani bersama beberapa teman mendirikan koperasi nelayan. Mereka mengelola sendiri bahan bambu untuk rumpon dan kebutuhan nelayan lainnya dengan sistem cicilan setelah panen. “Tujuannya supaya nelayan bisa mandiri, nggak bergantung,” jelasnya.
Sebagai ketua kelompok nelayan, Dani menghadapi banyak tantangan mulai dari menyatukan perbedaan pendapat sampai menjaga agar anggotanya tak tergoda memakai alat tangkap yang merusak. “Tantangan paling berat itu nyatuin pikiran,” katanya. Ia memilih jalan dialog. “Saya ajak mereka ngobrol, makan bareng. Lama-lama paham, kalau laut rusak, yang rugi ya kita sendiri.”
Laut adalah ruang hidup yang ia rawat dengan disiplin dan kesabaran. Setiap tali jaring yang disentuhnya bukan sekadar alat tangkap, tapi pengingat bahwa keberlanjutan butuh tangan yang tahu batas.
Di tengah semua kesibukannya, Dani melakukannya demi masa depan anak-anaknya. Anak pertamanya putus sekolah karena kondisi ekonominya dulu belum sebaik sekarang. Kini dia ikut menjadi nelayan.
Anak keduanya, satu-satunya perempuan, sedang kuliah di jurusan farmasi. Rasa bangga tak bisa disembunyikan dari wajah Dani, karena hal ini adalah sesuatu yang dulu tak pernah ia bayangkan. “Saya sampai gadaikan motor buat bayar uang gedung lima belas juta,” ujarnya sambil tersenyum bangga.
Anak bungsunya, Bima, masih SMP dan rajin berlatih sepak bola. “Kalau ada latihan, saya antar,” katanya sambil tersenyum. “Kalau dia mau ke sepak bola, saya dukung. Yang penting dia punya semangat,”
Bagi Dani, pendidikan adalah jalan keluar dari laut yang kian sempit. Istrinya pun sekarang bekerja sebagai perawat lansia. Keduanya sama-sama berjuang dari tempat berbeda, dengan tujuan yang sama: memberikan penghidupan yang lebih baik bagi keluarga mereka.

Meski sibuk di laut, Dani tetap mendampingi anak bungsunya berlatih sepak bola secara serius. Ia ingin anak-anaknya tumbuh dengan pilihan hidup yang lebih luas dari garis pantai.
Mereka sekarang tinggal di rumah relokasi di Tambakrejo, rumah sederhana berdinding semen dengan halaman kecil di depan. Sertifikat tanahnya belum beres, tapi Dani tak kehilangan semangat. Ia bersama koperasi nelayan tengah mengurus legalitas komunal agar rumah mereka diakui negara. “Pelan-pelan, yang penting jelas dan sah,” ujarnya.
Area tempat tinggalnya sekarang jauh lebih baik dan bersih daripada yang sebelumnya. Lingkungan ini pun menjadi tempat cucunya yang baru berumur dua tahun itu bertumbuh. Suaranya lembut setiap kali memanggil sang cucu, tawa mereka pecah di antara bunyi angin pesisir yang bertiup kencang.
Kawasan Tambakrejo kini menjadi pemukiman baru bagi keluarga nelayan yang direlokasi. Dani dan warga lain masih memperjuangkan kepastian hukum atas rumah mereka.
Harapan Dani sederhana: agar anak-anak nelayan bisa tumbuh tanpa takut kehilangan laut dan masa depan mereka sendiri. “Kalau sekolah gratis bisa sampai tinggi, anak-anak nelayan juga bisa punya pilihan hidup yang lebih baik,” ujarnya.
Momen bermain bersama cucu menjadi pengingat bagi Dani tentang alasan ia terus bekerja keras: agar generasi berikutnya tak harus berjuang seberat dirinya.
Menjelang senja, cahaya oranye menimpa permukaan air yang beriak. Di kejauhan, tonggak-tonggak bambu rumpon berdiri teguh, menantang arus yang tak pernah berhenti. Di situlah seluruh perjuangan Dani berakar, pada laut yang ia rawat, keluarga yang ia hidupi, dan keyakinan bahwa harapan akan selalu tumbuh, selama manusia masih mau menjaga tempatnya berpijak.
Penutup Reflekftif
Dari bambu-bambu yang menancap di pesisir Tambakrejo, Dani menanam lebih dari sekadar kerang hijau. Ia menanam ketekunan, keyakinan, dan masa depan yang ingin ia wariskan. Sementara arus pembangunan terus berubah arah, ia memilih bertahan di jalur kecilnya—menjaga laut, membesarkan harapan, dan mengingatkan bahwa keadilan bagi nelayan bukan sekadar bantuan, tapi ruang untuk hidup dengan layak di tanah dan air mereka sendiri.
Suara Lainnya
Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai
Cerita kearifan lokal yang kian menyusut di lahan Food Estate, Mantangai Hulu
Di Balik Tawa Nurlela
Perjuangan Perempuan Petani di Antara Harapan dan Birokrasi
Seutas Tambang dan Bonus dari Semesta
Kisah tentang keberanian, rasa cukup, dan kebijakan yang belum menyentuh tanah.