Kembali
Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai
Cerita kearifan lokal yang kian menyusut di lahan Food Estate, Mantangai Hulu

Dijah, seorang petani ladang di desa Mantangai Hulu yang lahannya direnggut proyek Food Estate
Dijah seorang petani ladang di Kalimantan Tengah, tersenyum simpul mendongengkan sumber penghidupan warga Mantangai Hulu di masa lalu.
“Dulu,” ucapnya pelan, seperti memasuki mesin waktu menuju masa yang jauh “Di sini (Mantangai Hulu) kami menebas ladang, menanam, memanen, bahkan menggelar hajatan, semua dilakukan bersama.”
Ia menatap ke arah celah jendela tertuju ke luar dekat balai desa, seolah di sana masih tersisa para tetangga yang dulu gemar bergotong royong tanpa pamrih. “Setahun sekali warga desa Mantangai Hulu membakar hutan. Satu petak ditanami padi dan hasilnya dibagikan ke semua warga desa. Sekali panen cukup untuk hidup dua tahun.”
Dijah bernostalgia tentang sayur mayur, umbi-umbian, dan tanaman yang tumbuh subur di hutan. Itu semua bebas dipetik, gratis, tanpa perlu pasar atau uang. Di sungai, ikan-ikan berenang di antara batang-batang kayu bekas pembakaran, memakan nutrisi dari sisa kayu yang hangus. Sehingga, warga bisa dengan mudah menangkap ikan tawar.
Setiap musim panen, suku Dayak Mantangai Hulu menggelar upacara adat, bentuk terima kasih kepada alam dan para leluhur yang menjaga keseimbangan sungai dan hutan.
Namun, sejak pemerintah melarang membuka lahan dengan membakar hutan, mereka tidak bisa lagi menanam padi ladang, ikan-ikan pun sulit dicari. Upacara adat yang diiringi bara api hutan juga ikut punah. Mimpi hidup sederhana yang bergantung pada kearifan dan keseimbangan alam telah karam.

Daerah desa Mantangai Hulu tepat di depan Sungai Mantangai, di mana setiap riak air berbisik tentang hidup dan nasib warganya
Mantangai Hulu terletak tepat di tepi sungai Mantangai. Di pagi hari, desir angin melewati semak-semak tumbuhan purun yang kini mulai langka, tempat bangau, dan burung eksotis lainnya mencari mangsa. Biasanya, Dijah sudah bersiap berlayar dengan sampannya menuju ladang. Namun, hari itu musim kering, aliran sungai tidak bisa mencapai lokasi ladang.
Lahan sisa empat hektare itu adalah penopang hidup Dijah. Di sana tumbuh singkong, ubi jalar, pisang, petai. Tumbuh-tumbuhan ini nilainya tidak seberapa di pasar, kalau tidak terjual, ujung-ujungnya masuk perut saja. Untungnya masih ada sedikit pohon sawit yang jadi tumpuan Dijah bertahan hidup.
Pohon sawit itu panen setiap dua minggu sekali. Hasilnya bisa mencapai satu setengah juta rupiah. Namun, nominal itu harus dibagi dengan keempat anaknya yang kini sudah berkeluarga, “Anak cucu masih butuh bantuan. Kalau bukan dari sini, dari mana lagi?” kata Dijah, bibirnya tersenyum tipis, tapi suaranya menyimpan kasih yang tak pernah habis.
Dijah dan suaminya, Tito bergantian merontokan buah sawit dari tandannya. Setiap butir yang terlepas jadi harapan baru untuk hari esok.
Dijah mengenang masa ketika suaminya, Tito mengidap katarak. Saat itu, beban keluarga berpindah ke pundaknya seorang diri. Tanpa biaya berobat, ia meminta anak-anaknya turun ke ladang, membantu menanam, memanen apa pun yang bisa dijual. Waktu putra-putra Dijah semakin terkuras di ladang, tidak ada lagi biaya dan tenaga yang tersisa untuk melanjutkan sekolah.
Dengan ijazah SD, tidak banyak yang bisa putra-putra Dijah kerjakan. Kesempatan kerja di desa juga sempit. Akhirnya seperti pemuda lainnya, mereka terpaksa mengadu nasib ke luar desa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Biaya hidup di desa sudah tidak masuk logika, beras dijual seharga Rp250.000 perkaleng atau setara dengan lima kilogram, ini pun hanya cukup untuk lima hari. Agar beras ‘pas’ sampai satu minggu, Dijah dan Tito harus menekan pengeluaran, termasuk intensitas makan. Dari tiga kali sehari menjadi satu atau dua kali saja.
Kearifan lokal yang diwarnai gotong royong pun semakin memudar. Dulu, setiap asap tungku mengepul di satu rumah semuanya dibagi, sekarang mereka tak mau rugi. Warga merasa sama-sama susah, mereka tak mau lagi saling membantu kecuali jasanya ditukar dengan rupiah. Hal ini sangat disayangkan oleh Dijah yang tumbuh besar di komunitas masyarakat yang saling tolong menolong dan gotong royong tanpa perhitungan.

Dijah membandingkan kompor gas dengan tungku bakar yang dulu menghangatkan masa kecilnya. Nyala api dari kayu hutan, aroma asap yang melekat di setiap masakan sekarang diganti dengan hasil gas yang rasanya tidak senikmat dulu.
Di tahun 2017 atas nama swasembada pangan, proyek Food Estate merenggut tiga hektare lahan kebun milik Dijah. Saat itu Dijah sedang mengupayakan penghasilan tambahan di luar desa. Tak disangka, ia pulang dengan pemandangan pilu, semua hasil jerih payahnya telah rata dengan tanah, padahal kebunnya sebentar lagi panen.
Dilanda rasa kecewa, Dijah bersikukuh kembali ke lahan itu, ia tanami bekas kebunnya tanpa rasa takut. Meskipun kekuatan hukum atas kepemilikan tanah Dijah hanya sebatas surat pernyataan yang ditandatangani tetangga, diketahui kepala desa, dan camat.
“Kalau mereka datang lagi menggarap,” kata Dijah tegas. “Saya tunggu di lahan!”
Perlawanan Dijah bukan soal kekerasan. Ia hanya mempertahankan haknya untuk bertahan hidup. Harapannya pun sederhana, “Kalau bisa, hak-hak masyarakat itu dikembalikan. Jangan lagi dirampas. Harapan kami sederhana saja agar warga bisa kembali berladang seperti dulu”.
Namun, seakan kejadian ‘tiba-tiba’ memang hal yang biasa terjadi pada Dijah, tidak lama setelah lahan diakuisisi, suami Dijah disergap polisi, dituduh atas pembakaran lahan. Selama dua puluh empat jam, dunia Dijah dipenuhi rasa cemas, namun akhirnya Tito dinyatakan tak bersalah, terbebas dari tuduhan fiktif.

Potret dua sejoli, Dijah dan Tito berdiri di ambang masa depan yang tak pasti
Kini, lahan Food Estate di sekitar Mantangai Hulu dibiarkan terbuka. Seolah menolak menjadi subur, bukannya menumbuhkan padi sawah, tanah yang dulunya dipenuhi pohon meranti, ramin, dan balangeran hanya menjadi cekungan lumpur.
Tanahnya mengeras, tidak bisa menyerap air, sehingga ketika musim hujan tiba, air menggenang. Tanpa sistem irigasi yang tepat, air menyusup ke mana-mana. Tahun 2025, pertama kali dalam hidup Dijah menyaksikan air merayap masuk ke rumah, ke ruang tamu, dapur, dan kamar tidur yang dulu dipakai anak-anaknya bertumbuh.
Banjirnya awet, saat Dijah berangkat ke ladang ia mendapati genangannya sudah setinggi kepala pohon sawit. Lagi-lagi ia gagal panen, dan harus menahan lapar sampai panen berikutnya. Tapi, meski lahannya hancur lebur, tangannya kasar, kulitnya terbakar, mata Dijah tetap teduh penuh harapan untuk bertahan hidup di tanah leluhurnya.
Penutup Reflektif
Kebijakan ekstensifikasi seperti Food Estate atau Cetak Sawah Rakyat membawa harapan kesejahteraan, tapi justru meninggalkan duka dan merusak penghidupan masyarakat adat. Kisah Dijah banyak dirasakan masyarakat di area-area garapan food estate, menitipkan pesan agar kelak pembangunan tak lagi mematikan akar yang memberi kehidupan.
Suara Lainnya
Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai
Kisah tentang keteguhan, laut yang kian sempit, dan kebijakan yang belum berpihak.
Di Balik Tawa Nurlela
Perjuangan Perempuan Petani di Antara Harapan dan Birokrasi
Seutas Tambang dan Bonus dari Semesta
Kisah tentang keberanian, rasa cukup, dan kebijakan yang belum menyentuh tanah.