Kembali
Pulau Pari Menyempit, Ruang Hidup Nelayan Terhimpit
Mustaghfirin alias Boby, seorang nelayan yang terpaksa alih profesi menjadi perawat Pantai Perawan
Mustaghfirin alias Boby, seorang nelayan yang terpaksa alih profesi menjadi perawat Pantai Perawan
Sosok pria paruh baya itu duduk santai, mengikat rambutnya yang mulai memutih dan menjuntai ke bahunya yang legam. Wajahnya tampak lelah, tapi lega. Setidaknya ia masih bisa pulang, meski bubu, alat tangkap dari anyaman benang dan kawat aluminium-nya belum juga menunjukan tanda-tanda kehidupan.
Dari teras rumah, Boby menyiapkan bubu kecil rakitannya, merajut harapan sebelum melaut
Boby sudah tumbuh bersama ombak dan angin laut sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dari laut ia belajar tentang kesabaran, kepasrahan, dan harapan. Dalam ucapannya terselip banyak kenangan masa lalu, ketika laut masih bermurah hati.
"Tahun 90an, kita (nelayan) sendiri dalam satu hari, itu bisa mendapatkan ikan cakalang, atau tuna, atau ikan-ikan tongkol di atas 100 kilo” ucap Boby, membandingkan dengan sekarang, yang sering pulang tanpa hasil.
Sejak ekosistem laut terganggu, ragam ikan yang berlarian di Pulau Pari tidak lagi berwarna seperti dulu, dan sudah sulit, ruang hidup mereka semakin dipersempit. Laut yang dulu bebas dijelajahi, tiba-tiba dipetakan dengan garis-garis aturan. Kapal 3GT hanya boleh melaut 15 hingga 20 mil, itu pun harus bersaing dengan kapal yang lebih besar.
Padahal, tanpa aturan-aturan ini pun, nelayan kecil seperti Boby tidak mungkin berlayar jauh. Dengan perahu sederhana dan bahan bakar pas-pasan, laut lepas bukanlah tempat cari untung. Sekali salah perhitungan, mereka bisa kehilangan arah, kehabisan bahan bakar, atau bahkan tak pernah kembali ke daratan.
Meski tangkapannya kian surut, berhenti jadi nelayan bukan pilihan. Karena bagi Boby, menjadi nelayan bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa yang telah "mendarah daging". Bahkan jika ditawari gaji tetap, ia lebih baik menolak karena tak mau terikat.
Kebebasan inilah yang menghidupi keluarganya dan memberinya harga diri.
Sementara itu, para nelayan kini dikekang oleh pembatasan kuota tangkap. Bagi nelayan, kebijakan ini seolah meminta petani berhenti memanen saat padi masih menguning.
“Nelayan tidak dapat diatur untuk menangkap jenis atau volume ikan tertentu karena ikan (seperti tongkol, tenggiri, atau baby tuna) sifatnya musiman dan berpindah-pindah” kata Boby lirih.
Bedanya petani dengan nelayan, sawah bisa dibeli dan diatur, sedangkan laut hanya memberi saat ekosistem laut dijaga. Lagi-lagi kebijakan yang dibuat di darat, belum melibatkan mereka yang hidupnya bersangga pada arus dan bentangan laut.
Menghidupkan situs ekowisata adalah salah satu upaya yang warga Pulau Pari lakukan untuk bertahan hidup. Ini mendorong Boby untuk memikul tanggung jawab baru sebagai perawat Pantai Perawan . Setiap pagi sebelum melaut, matanya menyisir pantai, menyapu daun-daun yang gugur, memastikan pasirnya tetap bersih dari arus yang menggiring sampah dari Jakarta.
Boby menyapu daun sukun yang gugur, merawat Pantai Perawan seperti halaman rumahnya sendiri
Untuk meningkatkan daya tarik Pulau Pari, Boby dan warga lainnya berinisiatif memperindah pulau dengan pembangunan sederhana. Sambil menunjuk setapak jalan yang disusun dengan paving block, Boby bercerita, semua itu dibangun dari urunan sisa uang harian warga setempat. Sebuah bentuk kemandirian ekonomi Pulau Pari, dari rakyat untuk rakyat.
Namun, menyadari bahwa pembenahan Pulau Pari tidak bisa terus mengandalkan urunan warga, dilakukanlah musyawarah. Mufakat, muncul keputusan sederhana: untuk mengenakan sedikit tarif untuk turis, dari dana tersebut mereka membangun infrastruktur seperti penerangan dan pembukaan WC di sekitar pantai perawan.
Namun, suatu hari tanpa aba-aba, Boby dibawa pergi oleh bapak-bapak berseragam. Ia dibui atas dakwaan pungutan liar. Situasi ini memecah ketenangan warga Pulau Pari, mengingatkan mereka, meski sudah begitu ditempa dengan pembatasan ruang hidup, perjuangan ternyata baru dimulai.
Selama mendekam di penjara, pikiran Boby tertuju pada sang istri yang seorang diri memanggul beban rumah tangga, menyuapi ketiga buah hatinya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah.
Lampiran dokumen yang membuktikan Boby bebas dan tidak bersalah
Setelah perjuangan pembebasan selama 7 bulan, tuduhan terhadap Boby akhirnya gugur. Tidak ada satu pun bukti yang menguatkan dakwaan itu. Meski begitu, bayang-bayang ketidakadilan masih melekat. Ia tahu, keberaniannya memperjuangkan lahan reklamasi dan membuka jalan bagi pariwisata warga mungkin telah mengusik kepentingan pihak lain.
Meski hukum sempat mengecewakannya, tetapi keyakinannya belum padam. Boby masih menaruh harapan pada negara, agar pemerintah mengakui hak kelola masyarakat di Pulau Pari. Sehingga, warga bisa tenang dan bebas mengelola pulau seperti yang mereka lakukan selama ini.
“Kami bisa mengelola pulau tanpa merusak,” tegasnya.
Kata “merusak” yang terucap mengungkap suatu fakta ekologis di Pulau Pari, sejak ada campur tangan orang lain, ekosistem laut mulai terusik. Dimulai sejak pemasangan pagar laut akibat kebijakan reklamasi.
Pasir dikeruk, ditarik paksa ke permukaan demi menambal daratan buatan, ratusan akar mangrove muda terlepas dari peluk bumi. Pembangunan di pulau-pulau reklamasi tidak mengindahkan kebijakan yang mengamininya.
Mobil Belco terus mengeruk pasir, menambal daratan buatan.
Padahal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mewajibkan pembangunan yang menjaga keberlangsungan ekosistem laut. Nyatanya, lamun, manggot, bakau, dan mangrove, pohon-pohon penjaga keutuhan pulau dan siklus kehidupan hayati di laut ikut dikeruk.
Pulau-pulau kecil yang sedang dibangun dijaga ketat. Para petugas berseragam mondar-mandir, mengawas wilayah pembangunan. Matanya jeli, memastikan agar Boby dan para nelayan lainnya tidak berani melintas. Jika berani melewat, berarti harus siap dengan ancaman pidana.
“Reklamasi di Pulau Pari ini lucu” kata Boby, mengkritisi prosesnya yang tidak melibatkan suara masyarakat yang sudah delapan generasi lebih dulu menetap dan hidup di Pulau Pari.
Sayangnya, bukti kepemilikan tanah masyarakat Pulau Pari hanya berupa Surat Girik, yang telah hilang, entah hanyut, atau terbakar saat diurus oknum kelurahan. Sampai hari ini, tidak ada pertanggungjawaban atas surat-surat yang lenyap itu.
Makam leluhur Boby, saksi bisu kehidupan dan perjuangan warga Pulau Pari
Kini tinggal makam-makam leluhur, pohon-pohon yang ikut tumbuh bersama waktulah, saksi sejarah kehidupan di Pulau Pari dari generasi ke generasi.
Di tengah semua badai itu, sebuah gambaran sederhana mendefinisikan surga yang Boby perjuangkan: "Memori terindah itu, ketika subuh bangun, istri sudah masak dan menyiapkan bekal untuk ke laut... Dan ketika pulang, istri sudah menyambut, menjual ikan, lalu tersenyum karena hari ini kami ada hasil." Berharap kelak ia bisa kembali menjadi nelayan sepenuhnya.
Penutup Reflektif
Di bawah langit Pulau Pari, Boby menyusuri garis pantai yang ia rawat sendiri. Di sana ia menambatkan harapan agar kelak tidak ada lagi kebijakan seperti reklamasi dan zonasi yang dibuat secara sepihak, tanpa dialog dengan masyarakat.
Suara Lainnya
Saat Adat Kian Menyusut, Harapan Masih Disemai
Cerita kearifan lokal yang kian menyusut di lahan Food Estate, Mantangai Hulu
Harapan yang Lebih Luas dari Garis Pantai
Kisah tentang keteguhan, laut yang kian sempit, dan kebijakan yang belum berpihak.
Di Balik Tawa Nurlela
Perjuangan Perempuan Petani di Antara Harapan dan Birokrasi